Kamis, 05 Agustus 2010

Bukit Edelweiss

“Hei kaki satu! Untuk apa kamu kesini? Disini bukan tempat mu, dasar ‘alien’ ” .. “hei lihat kencing mu pun sekarang menjadi tongkat es!” hahaha. Tertawaan dan bahan olokan setiap hari menjadi sarapan pagi, siang, sore, malam dan sepanjang waktu hidup ku. Aku ini terlahir tanpa kaki kanan. Aku tidak bisa menjelas kan nya mengapa tuhan begitu tidak adil saat menciptakan aku seperti ini. Mungkin dia sedang saat murka, ketika judas di surga merebut roti isi selai kacang nya, dan mungkin hari itu aku sedang dalam proses pembuatan, dan selama ini aku meng anggap ini sebuah kutukan. Sedikit sisi baik yang ku lihat, tuhan beri aku kesempatan hidup. Nama ku Vough donham dan aku senang ketika memakan buah berbiji satu, biji dalam buah itu pasti akan di buat nya sebuah alat – alat aneh, yang nanti nya akan di buat presentasi kepada daniel anjing golden ku tercinta. Aku tidak tahu, siapa yang mau berteman dan berbagi kasih dengan ku, yang ku tahu selama ini hanya ada ibu ku yang pemabuk dan ketergantungan obat penenang karena depresi yang dia derita, daniel anjing ku yang sering kali sebenarnya aku tidak mengerti karena selalu mencari perhatian ku, dan kaleng kaleng di kamar yang aku beri nama satu per satu dan aku beri mata telinga dan mulut juga hidung, yang selalu setia menemani ku.

Aku di sekolah kan di sekolah ternama, dengan mengandal kan beasiswa dan kakak ku yang berkerja paruh waktu setiap malam sepulang kuliah. Kakak ku bernama Vita, dia sangat baik. Namun tidak pernah mau berbicara dengan ku, saat teman – teman berjaket kulit dan ber-celana jeans penuh robekan robekan itu datang ke rumah untuk bermain band di garasi rumah kami. Aku selalu bercerita keluarga sangat akur, namun sebenernya bagi ku, aku lah sumber bencana dan nestapa keluarga ku. aku ingin membantu kakak ku, aku ingin normal, bisa berkenalan dengan yoxy, wanita yang paling cantik di sekolah ku dan teman nya weiss gadis imut, pintar, saingan ku di kelas yang selalu setia menemani yoxy kemana mana, aku juga ingin melawan George hoss, ketua base ball di fakultas ku yang selalu melempar spagethi sisa ke muka ku saat bertemu di lorong perpustakaan. Karena aku siswa pintar, suatu hari yoxy meminta ku untuk mengerjakan artikel bahasa jerman nya, dan aku mau. akhir nya aku terima pekerjaan itu, dan aku akan kerjakan malam ini juga demi Yoxy. Saat itu aku berpandangan dengan Weiss, dia manis juga. Terjebak di lorong itu membuat ku merasa sangat kecil, ketika mata – mata semua tertuju pada ku. Seorang bebek berlumpur, bisa bertemu dan bicara langsung dengan Yoxy dan Weiss yang sangat anggun itu.Saat perjalanan pulang, aku bertemu dengan George dan kawan – kawan. Mereka memukul kepala ku dengan tongkat baseball berbahan alumunium tersebut, darah mengucur dali pelipis mata ku. Tetapi aku tidak menangis, rasa sakit ini sudah sangat biasa bagi ku, namun rasa tidak berdaya ini membuat ku sangat – sangat ingin melawan keadaan ini. Lalu aku duduk di taman sekolah sambil membersihkan luka ku dengan air dan alkohol. “Ouchh..sakit”, rintih aku. Seseorang menyentuh luka ku, saat ku berbalik dan melihat nya Weiss di sana. Dengan tatapan nya yang polos, dan berkata, “Luka baru, ini luka pertama di pelipis mata mu!, ahahaha”, dia tertawa. Di keadaan sakit seperti ku apa dia akan tetap tertawa dan tersenyum?. Aku tidak tahu itu. Dia pun membantu ku membersih kan luka, dan membalut nya dengan kain kassa. Lalu di menunjuk ke arah sana, seakan memberi tahu arah pulang kepada ku, dan terlintas dalam mata ku sinar matahari menyinari Yoxy yang anggung sedang ngobrol asik dengan George dan kawan – kawan nya, aku tidak sadar saat itu. Dalam pikir ku hanya Yoxy yang cantik, dan aku sangat ingin memeluk nya dalam tubuh nya yang mungil di lindungi jaket bertulis kan Young Seigh College nama unversitas ku. Lalu Weiss berkata pada ku, “ kamu suka pada Yoxy ya?”. Aku tersipu malu, dan menjawab. “ya, dia sempurna weiss.. andai dia tahu ada pangeran kaki satu yang suka padanya apa dia akan menghampiri ku? Atau dia hanya akan membalikan muka dan memberi jawaban bahwa cinta ku bertepuk sebelah tangan?, sepertinya sih begitu..” . “jangan takut Vough, jangan malu, cobalah. namun aku beri tahu pada mu, dia suka laki – laki yang tangguh, yang pandai bermain base ball dan kuat berlari juga mengangkat nya saat dia tertidur di sofa saat menonton drama di tv” kata weiss pada ku. Seakan semua itu tidak ada pada diriku dan hanya ada pada diri George. “uhmm Weiss, apa kamu mau mengerjakan tugas artikel bahasa jerman ini untuk aku, aku ingin seperti George, aku tidak ingin jadi diriku saat ini. Aku ingin jadi bagian dalam hidup Yoxy.”, minta ku pada weiss. Aku lihat muka Weiss yang memelas, dia langsung mengulurkan tangan nya membantu ku berdiri, dan mengambil kan tongkat yang biasa nya membantu ku berjalan. Lalu dia bilang, “ baiklah, ini untuk hari ini Vough, lain kali aku tidak mau lagi..” . sungguh baik nya Weiss hari itu. Beruntung Yoxy punya sahabat seperti Weiss, yang akan selalu membantu di saat susah. Sesampai nya di rumah aku berbicara dengan Daniel, anjing golden ku. “Daniel, aku ingin menaklukan Yoxy, agar semua mata tertuju pada ku. Ketika aku berjalan dengan nya, dan berciuman di tengah lapangan besok, bantu aku ya.. besok aku akan melawan George untuk itu” , dan Daniel hanya menguap memberi tanda, “jangan Vough! Itu buang – buang waktu!”. Seperti itu yang kudengar dari mulut nya. Aku pun mengacuh kan nya, berlatih dengan samsak rumah ku, memukul nya, membayang kan bahwa itu George yang sedang tersenyum sambil memakan spagheti saus tomat. Aku menghajar nya, hajar terus, sampai mampus.Tiba nya hari penentuan itu, aku berkelahi dengan George, aku menang walaupun luka dan darah menyertai aku. Aku hanya ingin tunjukan bahwa aku mampu, aku ingin tunjukan ke Yoxy bahwa aku bisa. Namun Yoxy tidak bergeming seperti acuh atas semua yang sudah kuperoleh, aku kesal karena itu. Dan aku malah di balas nya dengan di perlihat kan kemesraan Yoxy dan George ketika Yoxy menolong George yang penuh luka darah itu. Semua orang malah menjauhi ku, semua tidak ada yang suka pada ku, aku tidak mengerti mengapa semua ini terjadi pada ku. Aku seperti dalam ambang kesunyian di ruang tanpa grafitasi bumi, dan aku terjebak dalam lempengan itu. Aku merasa sedang dalam mulut Daniel yang bau amis, penuh dengan tulang dan daging ikan yang menyelip di antara gigi seri dan gigi taring nya. Aku muak atas semua ini, lalu aku pergi ke ujung bukit Edelweiss. Menurut dongeng yang kudengar, di atas bukit itu ada penyihir cantik yang akan tunjukan kita akan cinta sejati kita, dimana kita akan mengetahui nilai – nilai kehidupan kita, penyihir itu akan ajari kita mencintai dan mengasihi, namun untuk mencapai bukit tertinggi itu, butuh pengorbanan dengan satu kaki ini. Aku tidak akan mampu meraih nya dengan kaki ini, namun aku laki laki yang butuh cinta, aku ingin mencintai dan di cintai seseorang. Oleh karena itu, hal – hal kecil seperti itu menjadi motivasi ku, seperti keledai yang di pancing makanan di atas kepala nya dan aku akan terus melaju sampai makanan itu tiba tepat di mulut ku. Batu – batu curam menghalangi langkah ku, licin nya batu itu karena lumut dan gerimis membuat ku merasa sangat membeku di atas sana. Aku tetap melangkah tegar saat itu, saat dalam perjalan ku menuju bukit itu, hanya Weiss yang manis yang ku pikir kan. Dia lah orang yang tepat untuk ku, untuk ku beri cinta terdalam ku. Motivasi untuk bertemu penyihir itu semakin terpaku dalam otak ku, aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk cinta sejati ku, hanya itu. Dan aku pun sampai dalam puncak bukit itu, ketika tak ada satu orang pun di sana selain aku, tak ada penyihir manis, hanya ada aku dan bunga Edelweiss yang bersinar memekar harum di atas sana. Ku petik saja bunga itu dan jaga erat di tangan kanan ku, lalu aku dengan tangisan gembira melangkah menuruni bukit itu, sambil membayangkan aku dan Weiss sedang di atas bukit penuh bunga itu, duduk di musik semi melihat bunga itu mekar di sekeliling kami. Cinta itu indah sekali, satu kata itu yang membuat senyum wanita manis itu selalu terbenak di pikir ku. “Aku cinta kamu, Weiss” , kata itu sudah terbenak di mulut ku. Aku ingin katakan itu ke pada Weiss. “Aaahhhh....” “Vough! Bangun! Bangun!, kamu tidak apa kan? Ayo bangun!”, “Vough, ayo bangun aku cemas akan kamu.. mengapa kamu begitu memaksakan diri, aku cinta kamu Vough, kamu tidak pernah sadar itu!”.Kudengar ada yang berteriak seperti itu, aku habis tidur pulas, dan mungkin sekarang aku sekarat, seperti burung yang sudah kehilangan kedua sayap nya. Aku mencoba membuka mata ku, dan ku lihat... Weiss di situ, dia tersenyum sambil mencium kedua tangan ku, aku pun menangis gembira karena kehadiran weiss di situ. “Weiss, maaf kan aku selama ini, Aku cinta pada mu” , kata – kata itu jadi 10 kata terakhir dalam hidup ku, 10 kata terakhir dalam hidup ku yang penuh ketidak puasaan akan cinta. Dan sekarang aku menemukan cinta itu, Weiss dalam diri Weiss. Aku tidak mau menyia- nyiakan nya. Aku akan berjanji menjaga Weiss selalu seperti saat aku menjaga bunga Edelweiss itu di tangan ku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar